Kegiatan Pembelajaran 2.
Pertumbuhan Wilayah
Berkelanjutan
A.Tujuan
Pembelajaran
Melalui
diskusi peserta diklat dapat mendeskripsikan pendekatan pertumbuhan
wilayah berkelanjutan dari berbagai sudut pandang
B. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Mendeskripsikan tentang pendekatan
pertumbuhan internal.
2. Mendeskripsikan tentang pendekatan
pertumbuhan eksternal.
3. Menganalisis relevansi teori pusat
pertumbuhan terhadap pembangunan di
indonesia.
4. Menemutunjukkan kelebihan dan
kelemahan dari berbagai teori pertumbuhan wilayah.
5. Mendeskripsikan tentang Pertumbuhan
Wilayah Berkelanjutan.
6. Menganalisis tentang pentingnya dilaksanakan Pembangunan
Wilayah Berkelanjutan.
7. Mendeskripsikan tentang 4 (empat)
dasar tujuan pembangunan wilayah.
8. Menganalisis dampak penerapan pembangunan berkelanjutan
terhadap sistem perencanaan wilayah nasional dan degradasi lingkungan.
9. Menemutunjukkan faktor-faktor penentu perkembangan pusat
pertumbuhan wilayah.
C.
Uraian Materi
1.
Pertumbuhan Wilayah
Wilayah
dipahami sebagai ruang di permukaan bumi dimana manusia dan makhluk lainnya
dapat hidup dan beraktivitas. Wilayah adalah unit tata ruang yang terdiri atas
jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Dengan demikian sebagai satu unit
tata ruang yang dimanfaatkan manusia, maka penataan dan penggunaan wilayah
dapat terpelihara. Menurut Hadjisaroso (1994) wilayah adalah sebutan untuk
lingkungan pada umumnya dan tertentu batasnya. Misalnya nasional adalah sebutan
untuk wilayah dalam kekuasaan negara, dan daerah adalah sebutan untuk batas
wilayah dalam batas kewenangan daerah. Pembangunan wilayah tidak terlepas dari
pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi wilayah bukanlah suatu proxy
yang buruk dari struktur sosial-ekonomi masyarakat, tetapi bisa digunakan
sebagai penanda awal untuk: mengklasifikasikan tingkat pembangunan wilayah,
mengidentifikasikan kebutuhan pembangunan, dan membandingkan tingkat
pembangunan suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Ada kecenderungan bahwa
dengan adanya kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi akan diikuti oleh
kemajuan-kemajuan di bidang yang lain. Sejak pertengahan abad ke-20 para ahli
sejarah perekonomian dan geografi mencoba merumuskan pola pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah yang ideal. Penelitian terhadap wilayah-wilayah yang terkenal
berhasil pembangunan ekonominya memunculkan berbagai teori antara lain
"Growth Pole Theory" yang mendasarkan diri pada proses pertumbuhan
internal, dan Teori Rostow tentang fase-fase pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Berikut ini secara singkat dibahas beberapa pendekatan terhadap mekanisme
pertumbuhan ekonomi dan tolok ukur
tingkat pembangunan ekonomi suatu wilayah. Pertanyaannya adalah dapatkah pola
ideal dan tolok ukur yang dikembangkan berdasarkan hasil penelitian di
negara-negara barat diterapkan bagi pembangunan ekonomi di negara-negara
berkembang seperti Indonesia? Penemuan pola yang ideal dimaksudkan untuk dapat
diikuti secara sengaja oleh wilayah-wilayah lain yang sedang
membangun.
2.
Pendekatan Terhadap Pertumbuhan Wilayah
Berbagai
cara dan sudut pandang dalam mempelajari pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
dapat dikelompokkan menjadi dua macam
pendekatan: pertumbuhan internal dan pertumbuhan eksternal.
2.1.
Pendekatan Pertumbuhan Internal
Semua
teori yang menggunakan pendekatan
internal growth bertolak dari pandangan bahwa inisiator dan motor
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam wilayah itu sendiri. Inisiatif biasanya muncul dalam bentuk penerapan
teknologi baru atau penyempurnaan teknologi yang telah ada, misalnya: pembuatan
jalan-jalan baru serta alat pengangkutan baru, penerapan alat produksi modern
untuk menggali sumberdaya alam yang potensial, dan sebagainya. Semakin lancar dan murahnya transportasi
menumbuhkan perdagangan lokal menjadi lebih luas dan menimbulkan persaingan
antar produsen. Banyak produsen di tempat-tempat yang semula terpencil dan
tidak pernah tampak dalam perdagangan menjadi ikut aktif dalam persaingan.
Beberapa bukti menunjukkan adanya
beberapa
fase pertumbuhan ekonomi wilayah
dari subsistem-economy tertutup
sampai commercial-economi. Dalam pertumbuhan yang demikian hubungan perdagangan
antar daerah untuk surplus produksi berkembang cepat setelah tiap jenis
produksi telah dimenangkan oleh daerah tetentu. Proses mencapai kemenangan
dalam persaingan untuk barang yang sejenis dapat diilustrasikan sebagai
berikut. Semula menunjukkan keadaan awal dimana antara daerah X dan Y
memperdagangkan komoditi yang sama, dengan kemampuan bersaing yang sama pula,
karena baik sumberdaya potensialnya maupun ongkos produksi dan ongkos angkut
barang sama, sehingga keduanya membagi daerah pasaran sama besar (a = ongkos
produksi; t = kenaikan ongkos angkut sehubungan dengan jarak angkut; P = tinggi
harga di suatu tempat = a + t + keuntungan yang wajar).
Perkembangan
berikutnya menunjukkan adanya penerapan teknologi produksi baru di daerah X,
sehingga ongkos produksi turun, dan dengan keuntungan wajar produsen X dapat
menguasai pasaran yang lebih luas dari pada Y. Tahap selanjutnya X menerapkan
teknologi baru pada alat pengangkutannya sehingga ongkos angkut turun dan dapat
menguasai pasaran yang lebih luas dari pada Y. Jika X menerapkan teknologi baru
baik pada alat prouksi maupun alat angkutnya, maka suatu saat daerah pasaran Y
akan terserap ke dalam pasaran X, sehingga lambat laun Y musnah/gulung tikar
dari pasaran.
2.2.Pendekatan
Pertumbuhan Eksternal
Teori-teori
yang menggunakan pendekatan eksternal memandang bahwa pertumbuhan ekonomi
terjadi sebagai akibat dari perluasan ekspor ke wilayah lain. Keuntungan yang
diterima dari ekspor ini mendorong pembangunan ekonomi di wilayah pengekspor
tersebut. Mereka menunjukkan bahwa banyak wilayah-wilayah di dunia yang
perekonomiannya telah berkembang sebagai akibat investasi modal atau
eksploitasi dari pihak luar. Karena kekayaan sumberdaya alam suatu wilayah,
misalnya modal dan teknologi asing tertarik dan masuk ke wilayah itu.
Perdagangan antar wilayah (ekspor-impor) menjadi motor pertumbuhan ekonomi
selanjutnya. Wilayah-wilayah yang pola
pertumbuhan ekonominya menerapkan pendekatan eksternal boleh jadi lebih cepat
maju, tetapi kurang stabil dan lebih tergantung nasibnya kepada wilayah lain.
Dalam kenyataan kedua pola (internal dan eksternal) tersebut dewasa ini diterapkan
secara simultan pada hampir setiap wilayah di negara yang sedang berkembang.
3.
Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Pole Theory)
Teori
Pusat Pertumbuhan (Growth Pole
Theory) adalah satu satu teori yang
dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi
secara sekaligus. Teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk
mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu
teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan
wilayah dan perkotaan terpadu.
Teori
Pusat Pertumbuhan (Growth Pole Theory) adalah teori pertumbuhan wilayah
internal yang paling terkenal dewasa ini. Dari hasil penelitian dan analisis
pertumbuhan ekonomi di negara-negara Eropa dan Amerika pada masa pembangunan
mereka, ditemukan pola empirik tentang titik tumbuh yang mampu menjadi motor
penggerak pembangunan ekonomi suatu wilayah. Titik tumbuh cenderung berkembang
paling cepat, sedangkan bagian-bagian lain tumbuh
terbelakang
atau berhenti sama sekali. Kondisi titik tumbuh tersebut akhirnya dikenal
sebagai pusat (pole). Jika pertumbuhan pusat (pole) tersebut mampu menggerakkan
dan mendominasi keseluruhan pertumbuhan wilayah yang bersangkutan, maka disebut
pusat pertumbuhan (growth pole). Semula teori ini dikemukakan oleh F. Perroux
(Perancis, 1950), kemudian dikembangkan oleh Hirshman (1958), Friedman (1961),
Darwent (1969), Richardson (1973), Thomas (1975) dan lain-lain.
Pusat
pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara
berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi
geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Kegiatan yang
mendorong pertumbuhan ekonomi adalah kegiatan industri berskala besar sebagai
penggerak (leading industry). Keberadaan
leading industry ini diharapkan
dapat menimbulkan spread effect (efek penjalaran) dan trickling down effect
(efek penetasan). Titik tumbuh biasanya terdiri dari lokasi sebuah industri
yang mempunyai arti penting bagi masyarakat di wilayah yang bersangkutan, yang
kemudian disebut "industri kunci" (key industry). Arti penting bagi
masyarakat dapat berupa menyerap pembelian produksi utama wilayah, mensuplai
hasil industri kebutuhan utama masyarakat, atau menyerap banyak tenaga kerja
(lapangan kerja utama) di wilayah yang bersangkutan. Daerah sempit sekitar "industri kunci" menjadi lebih
makmur dan mempunyai daya induksi bagi pertumbuhan aderah di luarnya. Daya
induksi ini paling kuat di titik pusat dan semakin lemah pada tempat-tempat
yang semakin jauh letaknya. Dengan tertariknya angkatan kerja dari daerah sekitar masuk ke daerah pusat, mendorong
munculnya industri-industri lain yang hasilnya dibutuhkan oleh "industri
kunci" atau mengolah lebih lanjut hasil "industri kunci'' yang
kemudian disebut "industri bawahan" (affected industries).
Industri-industri bawahan ini cenderung tersentralisasi sekitar "industri
kunci" sampai pada kepadatan tertentu (kesulitan tempat, harga tanah yang
sangat tinggi, dll), barulah mulai muncul industri-industri bawahan di daerah
terkebelakang, dengan frekuensi yang semakin kecil untuk tempat-tempat yang semakin jauh
letaknya.
Dalam
suatu wilayah, terdapat kegiatan penduduk yang terkosentrasi pada suatu
wilayah, yang disebut dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan,
pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman.
Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman,
wilayah belakang (hinterland), wilayah pertanian, atau wilayah perdesaan.
Hubungan antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih terbelakang
dapat dibedakan sebagai berikut: (1)
Generatif: hubungan yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan
antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya; (2)
Parasitif: hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju)
tidak banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa
mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya; (3) Enclave
(tertutup): dimana daerah kota (daerah
yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah
sekitarnya yang lebih terbelakang. Keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi
atau terjadinya aglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale) atau agglomeration(economic of
localization). Economic of scale adalah keuntungan karena dalam berproduksi
sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya
per unitnya menjadi lebih efisien. Economic of agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut
terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk
memperlancar kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan, asuransi,
perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat
pelatihan keterapilan, media untuk
mengiklankan
produk, dan lain sebagainya. Semakin makmur dan semakin banyaknya angkatan
kerja beserta keluarga mereka di daerah pusat pertumbuhan, membuat para
pengusaha lain tertarik untuk mendirikan perusahaan-perusahaan jasa
(perdagangan eceran seperti toko dan warung, rumah makan, penginapan, pusat hiburan, pusat rekreasi, dan
pembangunan real
estate,
dll). Berbagai jenis lapangan kerja baru yang bermunculan mengundang para
tenaga kerja muda dari daerah terbelakang untuk masuk ke daerah pusat
pertumbuhan. Interaksi antara pertumbuhan teknologi dan pembangunan di pusat pertumbuhan dipahami
sebagai
proses
yang melingkar seperti Gambar berikut.
Materi lengkapnya download di sini
0 Response to "Pertumbuhan Wilayah Berkelanjutan "
Posting Komentar